Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

In Memorium Tabrani Rab; Menari Didua Lantai Mieko-Pe Amanriza Oleh : Dr.Elviriadi

JENDELA INFORMASI
Agustus 15, 2022, 11:49 WIB Last Updated 2022-08-15T04:49:33Z

Pekanbaru, Tingkap.info - Kepergian Tabrani Rab, Sang Sartre Melayu (tentang sartre melayu harap baca kolom sebelumnya berjudul : Sartre Melayu yang Melaungkan Riau Merdeka) telah meninggalkan lubang sejarah.

Seperti "kepulangan" T.Mieko dan Ediruslan Pe Amanriza, kepergian Tabrani Rab memotret segaris gelora; Riau Adalah Tanah Yang Melawan.

T.Mieko turun ke lapangan, menabrak tuan tuan takur yang bertangan besi memblokir tanah rakyat. Mieko geram pada setiap orang luar yang hendak bermaharaja lela tanpa segan sangka, menghulu hulu ditanah penghulu, beraja raja di laman raja.

Kita tentu ingat sergah murka Mieko putra Siak itu. AKU TAMPO MIKE, NAK MERASE TAMPO?? LEPAS KEPALE...ucap lantang membahana.

Lain Mieko lain Edi Ruslan nan Amariza. Ediruslan adik kelas Tabrani di kota kembang. Mereka justru kenal di kancah kaderisasi Sabang 17A, markas kaderisasi HMI di pojok kota Bandung. Kalau Tabrani Memilih Lembaga Dakwah Mahasiswa Islam (LDMI), Pe Amanriza memilih mangkal di gedung sate. Mengasah sastra profetik, sastra sebagai kritik kebudayaan.

Pulang ke Riau, Edi Ruslan melawan eksploitasi Jakarta melalui Tabloid "Azam" dan terbitlah puisi heroik : "Akan Berpisah Jua Kita Jakarta.."

Menari diantara Marxisme "Aku Tampo ala bung T. Mieko" dan " gelegak sastra "Akan Berpisah Jua Kita Jakarta ala Pe Amanriza", Tabrani memainkan arensemen pertelagahan vertikal; Riau Harus Merdeka..!

"Lalu Tabrani menyebut angka angka (yang saya ingat diwaktu itu..Triliun Triliun...) dan meluncurkan narasi dan data kepedihan Riau selama tergabung dengan Jakarta.

Memang, sejarah adalah mahkamah yang jujur. Ia hanya menangkap jenak jenak seorang pejuang, yang melakukan tindakan tindakan besar untuk orang lain. Derna bakti pada negeri. Sejarah tidak mencatat para "pembual" atau perkara perkara kecil, perlombaan (materi) individualis, intelektual oportunis dan pejabat ngeles.

Tabrani tetap berdiri. Seorang diri. Menahan badai kekalahan kekalahan Riau oleh tindihan oligarki hutan tanah dan penguasa borjuis.

Diatas lantai Mieko Pe Amariza, narasi politik melayu didendangkannya sampai putik "Riau Merdeka" mekar merona ke Ibu Kota. Ia hendak memberi antitesis peradaban pada budak budak Melayu Riau yang "pengalah" dan mudah menyerah. Sebuah PENGUMUMAN perlawanan politik strukturalis. Sesuatu yang sudah hampir hilang dalam percaturan pemikiran rantau ini. Yang bertamu dinegeri sendiri, ayam mati ditimpa lumbung padi..."

Ketika ia telah pergi. Kini tersisa tanya penuh misteri? Apakah rahim Riau akan melahirkan manusia Tabrani. Ditengah pelosok negeri diaruk korporasi bin cukong berdasi? Jawaban itu kuserahkan padamu, Sobat! ****


Iklan

iklan