Pada tanggal 15-17 Desember 2023, kota Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, seharusnya menjadi saksi dari suatu peristiwa besar yang telah lama dinantikan oleh ribuan kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di seluruh Indonesia. Namun, apa yang seharusnya menjadi momen bersejarah bagi IMM, yang menjadi tonggak penting bagi perkembangan mahasiswa Islam, tiba-tiba berubah menjadi bayangan ketidakpastian dan kekecewaan yang mendalam. Keputusan yang kontroversial untuk menunda MUKATAMAR XX IMM hingga 01-03 Maret 2024 telah mengguncang dasar organisasi ini, menimbulkan pertanyaan yang mendalam, dan integritas IMM sebagai organisasi yang dihormati. Di tengah riuhnya ketidakpuasan yang berkobar di kalangan kader, kita harus menyoroti dan mengevaluasi dengan tajam kebijakan penundaan yang terkesan tidak beralasan ini.
Penundaan MUKATAMAR XX IMM yang tiba-tiba dan tanpa alasan yang rasional telah mengejutkan dan mengecewakan kader IMM yang telah bersiap-siap untuk menyambut acara ini dengan semangat tinggi. Organisasi ini, yang selama ini berdiri di atas prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi aktif, seharusnya memberikan alasan yang kuat yang melibatkan partisipasi DPD Seluruh Indonesia. Namun, sayangnya, alasan yang diberikan tidak masuk akal tanpa alasan yang jelas. Dalam konteks MUKATAMAR, yang seharusnya menjadi forum diskusi, perencanaan, dan pengambilan keputusan yang penting, ketidakjelasan alasan penundaan menjadikan keraguan akan integritas dan transparansi DPP IMM itu sendiri.
Ketika kebijakan penundaan MUKATAMAR XX IMM diumumkan, sebagai kader IMM rasa kekecewaan segera mengisi ruang-ruang pertemuan dan ruang chat kader IMM di seluruh Indonesia. Yang lebih memprihatinkan, keputusan tersebut ternyata diambil sepihak oleh Dewan Pimpinan Pusat (DPP) IMM melalui pleno, tanpa keterlibatan atau masukan dari Dewan Pimpinan Daerah (DPD) IMM Se-Indonesia. Keputusan semacam ini bukan hanya mengecewakan, tetapi juga merusak prinsip dasar demokrasi internal organisasi ini.
Keputusan penundaan MUKATAMAR XX IMM telah menciptakan gelombang kekecewaan yang meluas, dan salah satu alasan yang sangat mendasar adalah kurangnya sosialisasi sebelum pengumuman kebijakan ini. Dalam organisasi sebesar IMM, yang melibatkan Seluruh kader yang tersebar di seluruh Indonesia, komunikasi yang baik dan pemahaman bersama tentang keputusan-keputusan penting adalah suatu keharusan. Sayangnya, penundaan MUKATAMAR ini, kurangnya upaya sosialisasi telah merugikan integritas organisasi dan memunculkan pertanyaan tentang transparansi.
Keputusan penundaan MUKATAMAR XX IMM bukan saja memunculkan kekecewaan, tetapi juga memunculkan pertanyaan yang serius tentang konsistensi organisasi ini. Keputusan tersebut, yang jelas-jelas bertentangan dengan TANFIDZ IMM. Dalam hal IMM, TANFIDZ IMM tersebut mengatur periode kepemimpinan DPP selama dua tahun. Keputusan untuk menunda MUKATAMAR melewati periode tersebut menunjukkan sebuah ketidaksesuaian dengan pedoman yang seharusnya menjadi pedoman dasar bagi organisasi ini.
Ketika keputusan penundaan MUKATAMAR XX IMM diumumkan, banyak kader bertanya-tanya: apa urgensi yang memaksa untuk menunda acara tersebut, terutama setelah hasil Tanwir telah diselenggarakan oleh DPP IMM dan DPD SE Indonesia? Pertanyaan ini mendasar dan mencerminkan ketidakjelasan yang perlu dijawab oleh pimpinan organisasi. Salah satu pilar penting dalam organisasi seperti IMM adalah partisipasi aktif, mereka adalah yang berada di garis depan, yang berkomitmen untuk mencapai tujuan IMM. Jika keputusan penting seperti penundaan MUKATAMAR dibuat tanpa mempertimbangkan aspirasi mereka, ini bukan saja tidak etis, tetapi juga merusak keharmonisan antar Internal IMM itu sendiri.
Penundaan MUKATAMAR yang diduga ada muatan politik pragmatis menjelang pemilu 2024 adalah kritik yang serius dan memunculkan pertanyaan tentang peran IMM dalam konteks politik. IMM, sebagai organisasi mahasiswa Islam, memiliki tanggung jawab untuk menjalankan misinya dalam melayani masyarakat, berkembang, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Islam tanpa diganggu oleh pertimbangan politik pragmatis yang sempit. Keputusan ini tampaknya melanggar prinsip-prinsip konstitusi (tandfizh) IMM demi kepentingan politik. Ini bukan saja tidak etis, tetapi juga merusak integritas organisasi.
Perlu ditanyakan juga, mengapa tidak ada suara yang didengar dari DPD IMM setelah keputusan penundaan diumumkan. Apakah mereka setuju atau tidak setuju? Kader-kader berhak untuk mengetahui posisi mereka dalam masalah ini.
MUKATAMAR adalah momentum penting bagi IMM dan kader-kadernya. Keputusan penundaan yang kontroversial ini mengundang pertanyaan serius tentang transparansi, demokrasi internal, dan integritas organisasi. DPP IMM harus memikirkan kembali terkait urgensi penundaan MUKTAMAR itu sendiri, dan harus merenungkan kembali nilai-nilai inti yang menjadi dasar eksistensinya dan mendengarkan suara kader-kader yang setia, bukan sekadar mengikuti arus politik pragmatis saat ini.