Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Menyelami Dwitunggal Wiratno-Mahfud; Birokrat Naturalis, Rimbawan Kolaboratif oleh : Elviriadi, Ph.D

JENDELA INFORMASI
Oktober 09, 2024, 09:13 WIB Last Updated 2024-10-09T02:23:31Z

Pekanbaru - Ada dua staf Manggala Wanabakti yang menggoda hati para pencinta lingkungan Indonesia. Performance harian sederhana, murah senyum, tak ada sekat jarak walau jabatan mentereng, noting to loose, dan apa apa mudah. Dialah Mas Mahfud sang Tai-Chi Management dan Mas Wiratno Penggendong Siamang.


Saya kenal mas Mahfud sewaktu bertugas di Riau. Sebagai komandan Balai Besar Konsevasi Sumberdaya Alam. Mahfudz menikmati pekerjaannya, turun ke rimba backpacker berhari hari. Bunyi kicau burung, jangkrik, primata dan mamalia hutan menginspirasinya menjadi seorang aransemen birokrasi. Semua tamu, aktivis lingkungan, NGO , universitas, Walhi Jikalahari dan siapa saja dengan cepat akrab. Dirangkul ramu dialektis jadi menu persahabatan naturalis.


Lain Mahfud lain pula Wiratno. Mas Wiratno selama 1000 hari di Gunung Leuser Aceh, hidup dalam lereng lembah bersama Satwa avertebrara mamalia reptilia, dirinya sudah menyamudra berbalut belantara . Kalau birokrat lain, disuruh jaga hutan, hutannya gundul. Mas Wir malah menjaga penghuni hutan. Jiwanya bersenandung dengan kicau burung, riang bersama kepak kumbang, menyapa segala penghuni rimba. Senanglah meloncat segala Siamang, monyet dan kera, bergelayut di pundak seorang Wiratno dengan gembira.


Kehadiran Wiratno dan Mahfud, seakan akan ditunggu ditengah rerimbunan hutan Indonesia tersisa. Makhluk ciptaan Tuhan didalamnya, rindu kebijakan arif holistik dari keduanya. Jauh di ibukota Jakarta. 


Spirit kolaboratif dan tak marah dikritik, terus mengabdi keoada bangsa, walau di batasi pimpinan, diam diam teman disapa jua.


Bangsa Indonesia yang terjepit Khatulistiwa, sungguh memerlukan leadership kehutanan dan lingkungan yang begitu rupa. Tau hidup pantang dan larang. Kepada rakyat hatinya sayang. Kepada flora jiwanya girang. Terhadap cukong ia meradang. Dengan Masyarakat adat pintu hati terbuka. Rendah hati itulah jati dirinya. Kemana pergi senyum menyapa. Kelak diakhirat Rosul menungunya.***

Iklan

iklan