Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

20 Tahun Kota Depok: Antara Visi Besar dan Realitas yang Kandas

Redaksi
November 23, 2024, 15:59 WIB Last Updated 2024-11-23T09:06:38Z


Kota Depok, dengan visinya yang tertuang dalam RPJPD 2005-2025, bercita-cita menjadi “Kota Niaga dan Jasa yang Religius dan Berwawasan Lingkungan.” Visi ini terdengar menjanjikan, mencerminkan harapan akan kota yang modern, bermoral, dan ramah lingkungan. Namun, setelah hampir dua dekade, kita perlu bertanya: Apakah visi besar ini benar-benar terwujud?


Selama 20 tahun terakhir, pemerintahan Kota Depok di bawah kepemimpinan PKS telah gagal mewujudkan visi tersebut, berbanding terbalik dengan realitas yang terjadi. Ibarat jauh panggang dari api, kota Depok justru menghadapi berbagai permasalahan yang semakin kompleks, dari kemacetan hingga degradasi lingkungan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, mari kita urai kembali masalah tersebut dengan mempertanyakan ulang, Apa sebenarnya kota niaga dan jasa yang religius dan berwawasan lingkungan tersebut? Apa ciri-cirinya atau indikator yang dapat terlihat dari visi kota Depok itu? Bisakah kita merasakannya?


Kota Niaga dan Jasa: Visi yang Gagal Tersebar


Sebagai kota yang diharapkan menjadi pusat niaga dan jasa, perkembangan Depok selama dua dekade ini justru sangat Margonda-sentris. Kawasan Margonda menjadi satu-satunya titik fokus pembangunan, sementara wilayah lain seperti Sawangan, Cinere, atau Bojongsari nyaris tak tersentuh. Akibatnya:


• Volume kendaraan yang tinggi terjadi setiap hari di Margonda sehingga menciptakan kemacetan yang tak kunjung terurai.

• Pusat pertumbuhan ekonomi yang tidak tersebar merata, membuat Margonda menjadi simbol ketimpangan pembangunan, yang berdampak pada beratnya beban lingkungan di wilayah tersebut.


Alih-alih menjadi kota yang mendorong perdagangan dan jasa, Depok justru terlihat seperti kota yang tidak terhambat akibat buruknya perencanaan.


Religiusitas: Nilai atau Sekadar Seremonial?


Cita-cita untuk menjadi kota religius tampaknya juga lebih banyak terlihat dalam bentuk simbolik. Kegiatan keagamaan yang diharapkan mampu meningkatkan religiusitas individu tampaknya tidak tercermin dalam kehidupan masyarakat. Mengapa demikian?


• Tingkat kriminalitas di Depok justru meningkat, termasuk kasus-kasus prostitusi, pelecehan seksual, dan kekerasan terhadap perempuan serta anak.


• Masalah sosial seperti kemiskinan yang tidak terselesaikan, menyebabkan rentannya terjadi tindakan kriminal.


Religiusitas seharusnya bukan sekadar simbol atau slogan, tetapi tercermin dalam kebijakan yang memprioritaskan kesejahteraan sosial dan membangun masyarakat yang bermartabat.


Berwawasan Lingkungan: Masalah yang Tak Kunjung Teratasi


Komitmen terhadap wawasan lingkungan juga terasa jauh dari kenyataan. Sebagai kota satelit yang dekat dengan Jakarta, Depok memiliki peluang besar untuk menjadi contoh pembangunan berkelanjutan. Namun yang terjadi adalah sebaliknya:


• Sampah menumpuk dan pengelolaannya tidak efektif. Depok bahkan sering mendapat sorotan terkait buruknya pengelolaan limbah domestik.


• Banjir menjadi masalah rutin setiap musim hujan, diperparah dengan sistem drainase yang buruk.


• Minimnya ruang terbuka hijau yang semestinya menjadi penyeimbang kawasan perkotaan.


Sebagai kota yang ingin “berwawasan lingkungan”, Depok justru menunjukkan gejala urbanisasi tanpa arah yang merusak daya dukung alamnya sendiri.


Depok dan Potensi yang Terabaikan


Ironisnya, Kota Depok sebenarnya memiliki sumber daya manusia dan potensi intelektual yang luar biasa. Kehadiran kampus Universitas Indonesia (UI) dan kampus-kampus besar lainnya seperti Universitas Gunadarma dan Politeknik Negeri Jakarta adalah modal besar yang seharusnya mampu membawa Depok melesat jauh dibanding kota-kota penyangga lain seperti Bekasi, Bogor, dan Tangerang.


Namun, sayangnya potensi ini kurang dimanfaatkan secara optimal. Mengapa?


1. Minim Kolaborasi: Pemerintah Kota Depok cenderung tertutup dan enggan membuka ruang kolaborasi dengan akademisi atau pakar yang ada di kampus-kampus tersebut.


2. Eksklusivitas Pengelolaan: Pengambilan keputusan hanya melibatkan kelompok tertentu, sehingga potensi di luar lingkaran tersebut tidak diberdayakan.


3. Kurangnya Kepemimpinan Visioner: Leadership yang diperlukan untuk menjembatani komunikasi antara pemerintah, akademisi, dan masyarakat tidak terlihat.


Sebagai contoh, untuk mengurai kemacetan di Margonda, buka akses tembus ke Jakarta melalui Universitas Indonesia adalah solusi yang seringkali diusulkan. Namun, hingga kini tidak ada upaya nyata untuk merealisasikannya. Padahal, kampus UI juga bisa menjadi mitra strategis dalam menjadikan Depok sebagai kota miniatur internasional melalui kerjasama dengan FIB UI dalam hal mempelajari kebudayaan antar negara.


Saatnya Depok Berubah


Selama 20 tahun terakhir, pemerintahan Kota Depok berjalan seadanya saja, tanpa visi besar yang benar-benar diwujudkan. Langit Depok terlalu tinggi, tetapi pemerintahnya terbang terlalu rendah. Dengan segala potensi yang ada, Depok bisa menjadi kota percontohan di Indonesia, asalkan ada komitmen untuk:


1. Membuka diri terhadap kolaborasi lintas sektor, khususnya dengan kampus-kampus besar seperti UI.


2. Mengadopsi tata kelola kota yang berkelanjutan, dengan memprioritaskan pengelolaan lingkungan, transportasi, dan infrastruktur modern.


3. Mengimplementasikan nilai religius secara nyata, melalui kebijakan yang mengutamakan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan masalah sosial.


Harapan ini bukanlah sesuatu yang mustahil. Namun, untuk mencapainya perubahan adalah sesuatu yang mutlak. Sudah cukup 20 tahun kita terjebak dalam lingkaran yang sama. Mari bangun Depok menjadi kota yang tidak hanya menjanjikan di atas kertas, tetapi juga benar-benar terasa manfaatnya bagi masyarakat. Untuk itulah, sudah saatnya Depok Kudu Berubah, Bosen gini-gini aja!



By Subhan (Eks PKS/Ketua DPC Gerakan Cinta Prabowo Kota Depok)

Iklan

iklan