Pekanbaru, Tingkap.info -- Tersebab Riau, orang orang berdatangan. Merebut madu Rimbo kepungan, meroboh hutan khazanah simpanan, mendangkal sungai demi cuan.
Tapi apa nak dikata. Budak budak Melayu rantau ini memilih bisu. Selaksa tanah telah di punah, ulayat adat tinggal riwayat, tetapi si budak Atan bergelar Panglimo, pangku tangan gemetar merana.
Kemana Sang Jebat pengaruk istana. Gagah perkasa mengusir lanun. Melayu bermarwah ditangan pemberani tak kenal ngeri.
Yang terjadi kini tak lagi cerita heroik Dubalang laksmana. Kebesaran Melayu Raya yang membentang dari Sriwijaya hingga ke Semenanjung Malaya.
Melainkan balada peminggiran anak negeri, hutan tanah Ulayat yang tinggal mimpi'. Karhutla dan perambahan hutan dilakukan taukeh taukeh, oleh pemegang senjata berpangkat tinggi tapi apa nyana budak Kuntu Burhan itu juga yang diulik meja hijau.
Karena itulah, sejujurnya negeri bernama Riau ini sudah tak bertuan. Marwahnya, harkat martabatnya sudah koyak. Hidup tinggal ditanah sekangkang Kera. Mengintip dibalik gelap siapa orang orang yang berkelebat hendak menggasak "koghet" ladang tersisa.
Franklin D. Roosevelt (1882-1945), Negarawan dan Presiden Amerika Serikat berdiri di atas podium, satu abad sebelum isu-isu global warming diucapkan: Sebuah bangsa yang menghancurkan tanahnya (sekaligus) menghancurkan dirinya sendiri. Ucapannya, seperti sumpah yang tengah menagih pembuktian.
Anak Jati Riau harus menoreh bukti. Buang sikap penakut, cepat menyerah dan takut bini. Cabut lah Taming Sari Loncat Tingkap turun ke laman. Aruk melawan keganasan para kolonial ekologi, sekaligus pendangkalan yang dibuat orang-orang berkerah putih dengan segulung peta buta penyelamatan hutan, dan kerja-kerja kosmetik peremajaan ekologi.
Ada saja gelincir-gelincir kebijakan dalam pertarungan kepentingan yang berujung pada degradasi hutan alam dan lingkungan bila berkait dengan dimensi kepentingan kapitalis borjuis oligarkis. Alienasi kepentingan masyarakat grassroot bila berkait dengan pertarungan politik kepentingan antara penguasa, pengusaha dan masyarakat. Dalam pertarungan inilah selalunya masyarakat menjadi korban peminggiran dan keterasingan yang kian jauh dari harapan aspirasi nilai juang harapan amanat kemerdekaan yang kian jauh dari titik kulminasi impian.
Sehingga masyarakat lesu, kacau dan terbiar dalam kesaksian luapan api prahara meluluhlantakkan peradaban dalam rindu kebijakan welfare state yang ditata adi luhung pendiri negeri. Dimana dimensi kebenaran terkubur, sabotase kezaliman bertahta, anak negeri terlunta, harapan generasi ternista, bak anak ayam kehilangan induk tiada tempat berlindung aspirasi terkurung terpanggang di jazirah luka menunggu sang Zarathustra bangkit bagai Mahatma Ghandi membangun kebangkitan perjuangan culture Swadesi marhaenis proletar anak negeri.
Percikan-percikan api pergolakan muncul di serata negeri akibat pergesekan- pergesekan konflik lahan ekologis yang tersisa dalam bongkah-bongkah perizinan tindih, lain ordinat izin konsesi lahan lain pula radius intervensi garapan buntut kendala ketidakjelasan pemetaan tata ruang RTRW negeri. Tiada lagi jejak patok perpatih serta tapal batas batu tok batin, terkepunglah tanah kampung ulayat lesap, plasma yang diharappun tak dapat.
Azablah negeri gundul tebing abrasi sungai tercemar selat mendangkal lancang kuning berlayar malam tiada pelita penerang. Sah sudah, Riau kini tak lagi bertuan!
Penulis : Elviriadi, Ph.D