Iklan

iklan

Iklan

iklan
,

Iklan

iklan

Oknum Dosen di Siak Larang Aksi Damai Mahasiswa, Riyan Azhari; Ini Pengkhianatan Intelektual

JENDELA INFORMASI
April 25, 2025, 23:28 WIB Last Updated 2025-04-25T16:28:48Z


Siak, Tingkap.info -- Mahasiswa adalah kaum intelektual yang memikul tanggung jawab historis dan moral dalam mendorong kemajuan bangsa. Dalam kerangka itu, kampus tidak bisa dipandang semata-mata sebagai ruang akademik. Ia adalah laboratorium pemikiran, tempat tumbuh dan berkembangnya gagasan, serta miniatur dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Kampus seharusnya menjadi ruang yang merawat nalar kritis, menjunjung tinggi kebebasan berpikir, dan membuka jalan seluas-luasnya bagi warganya untuk menyampaikan pendapat.


Namun, bagaimana jika kampus justru menjadi ruang pembungkaman? Ironi semacam ini kini muncul di beberapa KAMPUS di Kabupaten Siak - Riau, ketika sejumlah oknum dosen diduga melarang mahasiswa menyuarakan pendapat melalui aksi damai yang digelar di depan Kantor Bupati dan gedung DPRD Kab, Siak. Pelarangan dan sikap intimidatif tersebut bukan hanya mencederai prinsip-prinsip demokrasi dalam lingkungan akademik, tetapi juga menunjukkan lemahnya pemahaman terhadap regulasi pendidikan tinggi dan hak konstitusional warga negara.


Riyan Azhari, salah satu mahasiswa yang menolak diam, menyebut pelarangan tersebut sebagai bentuk pembodohan intelektual. “Ketika kampus membungkam mahasiswanya, maka matilah fungsi kampus sebagai pusat peradaban,” ujarnya lantang.


Pernyataan Riyan bukanlah sekadar emosi sesaat. Ia berdiri di atas dasar hukum yang kuat. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 8, secara tegas menyatakan bahwa mahasiswa memiliki hak untuk menyampaikan pendapat secara ilmiah, berekspresi, dan berorganisasi di lingkungan perguruan tinggi. Hak ini diperkuat oleh Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin kebebasan setiap warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.


Oleh karena itu, pelarangan unjuk rasa tidak hanya mencederai kebebasan berekspresi, tetapi juga bertentangan dengan kerangka hukum nasional yang mengakui dan melindungi hak-hak dasar warga negara—termasuk mahasiswa.


Penting untuk saya sampaikan bahwa belajar itu tidak melulu di dalam kelas. Pendidikan sejati tidak sekadar menyoal ceramah dosen dan hafalan teori. Belajar adalah proses yang multidimensional—meliputi pembentukan karakter, kesadaran sosial, dan keberanian menghadapi persoalan nyata di tengah masyarakat. Dalam kerangka ini, aksi mahasiswa, selama dilakukan secara damai dan bertanggung jawab, adalah bagian yang sah dan integral dari proses pendidikan itu sendiri.


Perguruan Tinggi, sebagai lembaga yang seharusnya menjadi benteng nilai-nilai intelektualitas dan kebebasan berpendapat, justru terkesan memadamkan semangat intelektualisme dengan membungkam suara mahasiswanya.

Kini saatnya kampus ini bercermin: apakah ia ingin tetap menjadi tempat lahirnya pemikir progresif dan pemimpin masa depan, atau justru berubah menjadi ruang kosong yang hanya mencetak lulusan tanpa daya pikir kritis?


Mahasiswa tidak boleh dibungkam. Sebab, ketika ruang demokrasi dimatikan di kampus, maka kita tengah menyaksikan perlahan-lahan kematian peradaban itu sendiri. 

Iklan

iklan